Peran UMKM dan Koperasi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

*Oleh Sabela Gayo, S.H, M.H, Ph.D
sumber liputanrakyat.com
Koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional Indonesia sehingga peran koperasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dilindungi oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya. Di dalam Pasal 1 angka 35 disebutkan bahwa “Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.”
Definisi tersebut merupakan bentuk pengakuan yang diberikan oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terhadap demikian besarnya peluang bagi Usaha Kecil, Kecil dan Menengah dalam mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerntah sebagai penyedia barang/jasa pemerintah. Hal ini merupakan suatu peluang dan kesempatan yang harus digunakan secara maksimal oleh kelompok Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi di seluruh Indonesia dalam rangka meningkatkan akses dan peran Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Namun demikian, definisi Penyedia Barang/Jasa sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1 angka 12 belum menyebutkan secara tegas bahwa salah satu unsur penyedia adalah Koperasi. Pasa 1 angka 12 menyebutkan yaitu “Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.” Kemudian di dalam Pasal 19 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga belum diatur secara tegas mengenai mana-mana saja persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi dan juga mana-mana saja persyaratan yang dikecualikan bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Belum adanya ketegasaan pengaturan mengenai persyaratan-persyaratan wajib dan yang dikecualikan khusus bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi menyebabkan minimnya Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi yang berpartisipasi sebagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah. Kondisi yang demikian harus secepatnya dicarikan solusi yang bijaksana oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) agar jumlah Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi di Indonesia dalam mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai penyedia barang/jasa pemerintah semakin meningkat.
Di dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan bahwa “Pemaketan dilakukan dengan menetapkan sebanyak-banyaknya paket usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem, dan kualitas kemampuan teknis.” Pasal tersebut memberikan perlindungan hukum kepada para pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi Kecil untuk mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai penyedi barang/jasa pemerintah dengan memerintahkan kepada Pengguna Anggaran (PA) untuk sebanyak-banyaknya menetapkan paket usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi Kecil. Tetapi dalam rumusan Pasal tersebut tidak disebutkan akses terhadap Usaha Menengah. Apakah Usaha Menengah tidak dapat menjadi penyedia barang/jasa pemerintah dalam paket-paket pekerjaan yang ditawarkan oleh pemerintah? Mengenai hal tersebut perlu dimintakan penjelasan lebih lanjut kepada lembaga yang berwenang di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Dalam Pasal 96 ayat (1) huruf c Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan bahwa “Dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, K/L/D/I wajib; memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.” Kemudian Pasal 96 ayat (2) menambahkan bahwa “Kewajiban K/L/D/I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap tahapan Pengadaan Barang/Jasa, mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya Perjanjian/Kontrak.” Jadi redaksi yang digunakan dalam rumusan Pasal 96 ayat (1) huruf c adalah wajib yang artinya hal ini harus dilakukan oleh K/L/D/I dan jika tidak maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Bahkan, dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur Bab khusus mengenai Peran Serta Usaha Kecil yaitu pada Bab VIII Pasal 100 tentang Peran Serta Usaha Kecil yang mengatur beberapa ketentuan  pokok dan strategis mengenai Peran Serta Usaha Kecil dalam proses pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam proses perencanaan dan penganggaran kegiatan, PA/KPA mengarahkan dan menetapkan besaran Pengadaan Barang/Jasa untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil. Nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), diperuntukkan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.
Dengan adanya Bab VIII tentang Peran Serta Usaha Kecil di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka membuktikan bahwa Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah serta koperasi kecil didorong untuk menjadi “pemain utama” dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun, sejauh ini belum terlihat jumlah yang signifikan dari kelompok Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah serta koperasi kecil dalam menjadi Penyedia Barang/Jasa Pemerintah. Minimnya partisipasi Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah serta koperasi kecil sebagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah patut dipertanyakan apakah karena kurangnya informasi dan sosialisasi tentang hal tersebut kepada mereka atau karena adanya berbagai kendala teknis maupun non-teknis di lapangan yang dihadapi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah serta koperasi kecil di lapangan dalam kaitannya dengan keinginan mereka bertindak sebagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah. Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, perlu dilakukan kajian khusus secara mendalam dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) khususnya dari kelompok Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menegah serta koperasi kecil.
Jika ditinjau mengenai pengertian Usaha Mikro menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yaitu; “Usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” Pengertian Usaha Kecil menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yaitu; “Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan, atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Pengertian Usaha Menengah menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yaitu; “Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.” Sehingga dengan diberikannya akses yang seluas-luasnya kepada Koperasi sebagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah maka hal itu dapat meningkatkan kesejahteraan anggota Koperasi dan masyarakat secara luas. Tetapi, di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak diatur numenklatur mengenai Koperasi Kecil sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah karena yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah definisi mengenai Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Sehingga pengaturan kriteria Koperasi Kecil sebagaimana yang diatur oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah perlu dijabarkan dalam peraturan pelaksana lainnya setelah berkonsultasi dengan Kementerian yang membidangi masalah Perkoperasian.
Dengan adanya berbagai kebijakan di sektor Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah serta Koperasi maka diharapkan tidak ada lagi kebimbangan bagi Pengguna Anggaran dan pengelola pengadaan untuk memberikan akses dan kesempatan seluas-luasnya kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah dan Koperasi sebagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah dalam setiap paket-paket pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi/Jasa Lainnya dalam rangka meningkatkan pemberdayaan dan pemerataan pembangunan ekonomi kepada kelompok Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah serta Koperasi di Indonesia. []

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s